Demokrasi sudah menjadi kata sakti. Di mana-mana, orang meneriakkan kata demokrasi sebagai sebuah acuan akan tatanan dan pola organisasi yang baik. Semua pihak terpikat dengan cita-cita demokrasi di mana kedaulatan rakyat menjadi suatu yang ditinggikan. Namun, kenyataan berkata lain. Demokrasi yang diperjuangkan selama ini bergulir tiada hasil, di mana rakyat tetap menjadi pihak yang mengalami ketidakadilan. Janji-janji manis demokrasi yang diteriakan pada masa Pemilu hanya berlalu bersama angin kosong saja. Demokrasi tanpa keadilan hanyalah khayalan indah tanpa menilik kenyataan. Pertanyaannya, ada apa dengan demokrasi atau paling tidak ada apa dengan proses demokratisasi di Negeri ini?
Eko Prasteyo dalam buku ini memaparkan mengapa demokrasi yang diterapkan di Negeri ini telah menyimpang dari cita-citanya, yakni kedaulatan rakyat. Sebaliknya, kenyataan mengatakan bahwa rakyat justru semakin mengalami keterpurukan, tidak berdaya, dan semakin termarginalkan. Buku ini seolah hadir sebagai bentuk protes dan ungkapan rasa kecewa karena perubahan politik yang berada di bawah bendera demokrasi telah gagal dalam memenuhi janjinya.
Pertama, janji keberpihakan pada rakyat kian susah dicapai. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan justru semakin terpinggirkan dengan kebijakan pemotongan subsidi, kenaikan BBM, hingga penggusuran pada perumahan rakyat miskin, pedagang kaki lima, dan sebagainya. Dalam pengambilan kebijakan itu, rakyat semakin tidak dilibatkan. Kedua, menyangkut pranata hukum yang kian buruk kinerjanya. Tidak ada kepastian dan ketegasan hukum. Banyak pejabat tinggi yang menjadi tersangka koruptor tetapi bisa lepas dari jerat pengadilan. Pelanggaran HAM yang melibatkan militer makin kian susah diusut. Ketiga, menyangkut kredibilitas pihak swasta yang tidak terlalu mengagumkan. Sebagian kebijakan publik yang diserahkan ke sektor swasta berubah menjadi penguasaan oleh pasar. Keempat, menyangkut beberapa aktivis pro demokrasi yang mengkomersialkan program demokrasi.
Akibatnya, bukan kepentingan rakyat yang mau dibela melainkan keuntungan pribadi atau pun kelompok. Paparan soal demokrasi dalam buku ini cukup runtut dan mudah diikuti.
Buku ini memaparkan pula kajian tentang bagaimana demokrasi diterapkan di Negeri ini. Demokrasi hanya dijadikan kedok dan senjata kampiun untuk membuai rakyat. Banyak pihak yang memanfaatkan demokrasi hanya untuk mengeruk keuntungannya sendiri. Eko Prasetyo dengan tegas menyebutnya dengan kawanan para bandit. Ambil contoh, Pemilu menjadi ajang kawanan politisi mengumbar janji-janji demokrasi dengan sibuk mengunjungi dan berdialog dengan rakyat. Tapi, setelah pemilu usai dan kekuasaan dipegang, kunjungan dan dialog itu juga terhenti.
Jatuhnya demokrasi pada tangan para bandit disebabkan karena partisipasi rakyat sekadar janji belaka. Olle Torquist, pengamat politik, seperti tertulis dalam buku ini (hlm. 44) mengatakan, “...jikalau demokrasi yang terjadi hanya secara formal dalam artian tidak diiringi oleh partisipasi yang sungguh-sungguh dari rakyat maka hasil yang mungkin terlihat merupakan ‘demokrasi kaum penjahat.
Di depan kekuasaan para bandit itu, peran oposisi sebagai salah satu elemen alternatif kekuasaan demokrasi digambarkan loyo dalam buku ini. Banyak kalangan aktivis yang meneriakkan perlawanan, kemudian terjatuh dalam pelukan pihak donor. Bahkan, yang lebih menyakitkan lagi deretan para aktivis yang dulu menjadi pelopor melawan rezim lama, kini malah duduk dan menumpang dalam partai politik yang dikecam. Tidak hanya aktivis LSM, tapi juga gerakan mahasiswa dan kaum intelektual. Dari liak-liuk perjalanan demokrasi ini, Eko Prasetyo dalam bab IV menyimpulkan bahwa rakyat bukannya dilayani demokrasi, tetapi hanya menjadi pelayan demokrasi. Rakyat hanya menjadi barisan kata yang menjadi berarti ketika ada pesta demokrasi. Rakyat disingkirkan dan dimarginalkan. Partai-partai politik yang menjamur hanyalah siap mengeruk keuntungan daripada melakukan perubahan yang berguna untuk rakyat.
Dalam bab terakhirnya, buku ini memaparkan langkah-langkah dan strategi konkrit bagaimana merebut demokrasi dari tangan para bandit. Inilah yang menjadi nilai tambah buku ini. Maksudnya, buku ini tidak hanya piawai dalam membedah dan menganalisis persoalan, melainkan juga memberi solusi atau langkah alternatif untuk mengatasi persoalan itu.
Ada sepuluh langkah dan strategi. Pertama, lewat jalur pendidikan. Pendidikan merupakan jalan utama untuk memperkuat kesadaran tentang bagaimana implementasi demokrasi kerakyatan itu dibentuk. Kedua, membentuk organ gerakan yang mempunyai visi dan metode yang sesuai dengan syarat-syarat sosial dan kultural. Ketiga, memberdayakan peran advokasi dan pembelaan untuk masuk sekaligus memperebutkan aspek legalitas. Keempat, memberdayakan media terutama dalam memperkuat pencitraan sekaligus pengungkapan informasi akurat tentang nasib rakyat. Kelima, pentingnya mengembangkan jaringan antar kelompok etnis maupun agama. Keenam, sudah saatnya mengembangkan tradisi yang berbasis pada produksi. Ketujuh, mengadakan gerakan pelayanan publik yang kini tidak dilakukan negara. Kedelapan, perlu dikembangkannya tradisi kaderisasi yang berbasis pada masa rakyat riil. Kesembilan, pendokumentasian dan pendataan semua kegiatan dan peristiwa yang terjadi. Kesepuluh, melakukan penggalangan massa untuk aksi turun ke jalan sebagai langkah terakhir.
Secara keseluruhan buku ini cukup mengusik dan menarik. Mengusik karena mempertanyakan kembali jargon-jargon demokrasi yang mengusung kedaulatan rakyat tetapi pada kenyataannya justru rakyat semakin ditinggalkan. Menarik karena buku ini secara tidak langsung memaparkan sebuah hasil analisis sosial dan pengamatan yang jeli pada sejarah demokratisasi di Indonesia. Oleh karena itu, buku ini layak dibaca oleh siapa saja, termasuk para aktivis pejuang demokrasi, pemerintah, maupun rakyat jelata. Paling tidak, dengan membaca buku ini, kita bisa tahu demokrasi seperti apa dan demokrasi untuk siapa?
Musafir Muda
Judul: Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaraan KeIndonesiaan
Judul Asli: The Vernacular Press and the Emergence of Modern Indonesia
Penerjemah: Amarzan Loebis, Mien Joebhar
Pengarang: Ahmad Adam
Penerbit: Hasta Mitra
Cetakan: 2003
Tebal: 339 hlm.
Ahmat Adam yang lahir di Malaya pada 1941 itu menulis Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Indonesia. Dalam bukunya ini ada sekitar 225 surat kabar masuk dalam daftar penelitiannya.
Dimulai dari Bataviase Nouvelles. Pers pertama di Nusantara itu terdiri selembar kertas. Bataviase Nouvelles terbit pada 1744 dengan bahasa Belanda. Lembaran berita lelang ini bisa didapatkan tiap Senin. Tapi setahun kemudian, tak lagi dijumpai. VOC takut pamornya tersaingi.
Jejak-jejak tercetak yang dilacak Ahmat Adam menabalkan ide Ben Anderson tentang kapitalisme cetak. Sebuah pers adalah jalan. Ia memperlancar bahasa di Hindia Belanda. Bahasa, tanah air atau lebih tepat lingkungan sosial, ekonomi, budaya, dan politik itulah yang berdialektika menjadi bangsa. Imagined Communities, kata Ben Anderson.
Bahasa Pembeda Bangsa
Apa yang ditulis Ahmat Adam ialah embrio. Ia belum sampai pada janin: apa yang lantas disebut bangsa. Jauh sebelum jabang bayi Indonesia lahir. Embrio yang rentan terhadap pada sesuatu yang meruntuhkan. Segalanya masih mengira-irapada yang akan terjadi. (yang orang pikirkan di jaman itu, barangkali hampir serupa dengan yang kita pikirkan tentang masa depan Indonesia)
Bataviase Nouvelles yang terbit di Batavia dengan bahasa Belanda ternyata toh bukan yang menjadi pendanda bangsa di Nusantara. Meski koran ini ia yang mulai terbitan tercetak di Nusantara. Sampai jabang bayi Indonesia lahir, bukan bahasa Belanda yang menjadi pengantar. Melainkan bahasa Indonesia.
Model seperti Bataviasche Koloniale Courant di jaman Daendles ternyata bukan menjadi tipe pers-pers pribumi. Meski ide penerbitan surat kabar dari Gubernur Jendral, Daendles pada 1809 ini memberi sumbangan dalam sejarah pers di Hindia Belanda.
Daendles menggabungkan Perusahaan Cetak Kota dengan percetakan Benteng (swasta) menjadi Landsdrukkerij (Percetakan Negara). Penggabungan perusahaan cetak ini bukan tanpa makna. Dengan perusahaan cetak yang dimiliki negara, media semakin massif menyebar. Daendles menggunakan media ini untuk memberitahukan reformasi tata pemerintahan yang dipimpinnya ke seluruh Hindia Belanda.
Namun Bataviasche Koloniale Courant, koran yang dirintis Daendles, baru bisa terbit pada 1810. Kabar selanjutnya, Daendles harus angkat kaki dari Hindia Belanda pada 1811. Bataviasche Koloniale Courant berhenti terbit pada 2 Agustus 1811. Ide ini kandas karena “koisideinsi” sejarah: Prancis kalah melawan Inggris.
Meski dalam catat sejarah selanjutnya ada model pers corong kekuasaan seperti ini. Tapi itu pun jauh setelah Bataviasche Koloniale Courant berhenti terbit. Dan bukan bahasa Prancis-lah yang tertanam di Hindia Belanda.
Lantas?
Bromartani. Surat kabar ini terbit di Surakarta dengan bahasa Jawa. Terbit perdana pada 25 Januari 1855. Pemimpin CF Winter Sr. dan putranya, Gustaaf Winter. Dua orang bangsa Belanda yang katam berbahasa Jawa.
Bahasa yang dipergunakan pun tak tanggung; bahasa Jawa krama inggil. Sebagaimana diketahui dalam tingkatan bahasa Jawa, krama inggil menempati urutan pertama. Di bawahnya, bahasa Jawa krama dan ngoko (bahasa Jawa kasar).
Bagaimanapun, meski berbahasa Jawa, Bromartani mengawali terbitan yang melawan arus besar. Terbit di tengah-tengah surat kabar-surat kabar yang cenderung memakai bahasa Belanda.
Berturut-turut setelah Bromartani terbit, pembukaan jaringan telegram (1856), pos (1862), dan jalur kereta api (1867) dibuka di Hindia Belanda. Dalam kehidupan pers, teknologi menjadi jalan yang memudahkan perkembangan pers. Berita-berita kian cepat dan mudah tersampaikan.
Ternyata bukan bahasa Jawa yang pada ujungnya dipilih sebagai bahasa bangsa di Hindia Belanda. Bukan bahasa Jawa yang menjadi patokan. Meski status jawa menjadi pusat kolonial.
Orang Tiong Hoa dengan kekuatan modalnya berperan penting dalam pembentukan bangsa. Koran-koran yang cenderung komersiil ini-lah yang mendukung proses penyebaran bahasa melayu. Tentu saja dengan bahasa Melayu ala Tiong Hoa.
Jika ditilik dari segi kebangsaan, di sinilah tampak jasa baik kapitalisme. Tanpa modal, nyaris ide-ide tak tersampaikan. Tak mungkin disimak. Apapun bentuk modal itu (bukan saja uang) berjasa dalam penyebaran ide.
Bahkan Ahmat Adam berani mengatakan:
“Di Sumatera, pers hanya berkembang di beberapa kota atau kota besar di wilayah pemerintahan di Pantai Barat dan Aceh, serta di Pantai Timur Keresidenan Tapanuli dan Palembang. Pertumbuhan pers di daerah-daerah ini sangat bergantung pada denyut ekonomi kota untuk mendukung sirkulasi surat kabar dan berkala di kalangan pedagang dan penduduk setempat.” (hlm. 212)
Di tempat-tempat itulah bahasa Melayu berkembang. Tapi bahasa Melayu murni ternyata bukan yang menjadi “aspal” dalam konteks pembentukan bangsa di Hindia Belanda. Ia bukan perekat. Bukan juga yang menjadikan jalanan kebangsaan itu mudah dilewati.
Di sinilah nampak peranan Tirto Adhi Soerjo yang tak bisa diremehkan di Hindia Belanda. Ia pertama kali bangsawan Jawa yang mampu menerbitkan pers tanpa bayang-bayang kolonial. Medan Prijaji yang diterbitkannya pada 1907 ialah pemula. Sebab ia pribumi. Di situ ia menulis bahasa melayu. Bahasa Melayu yang pada periode selanjutnya--di Papua, Maluku, Sumbawa, Flores, Bali, sebagian besar Kalimantan, Sumatera, Jawa--bermetamorfosa menjadi bahasa Indonesia.
Dalam masa zaman yang bergerak bahasa menunjukan bangsa. Bahasa yang menjadi jeda antara kami dan mereka. Antara pribumi dan kolonial. Antara yang menghegemoni dan dihegemoni. Antara yang melawan dan dilawan. Yang kemudian disebut sebagian sebagai era peregerakan.
Terlebih bangsa dan penunjuk bangsa berupa bahasa itu terlihat pada bahasa yang sering digunakan Marco. Bahasa melayu yang terkadang melawan tata bahasa Melayu. Penuh adopsi dan campuran dari sana-sini. (lihat penggambaran Rudolf Mrazek dalm Engineer of Happy Land dan Ben Anderson dalam Imagined Communities terhadap gaya bahasa Marco)
Inilah awal sejarah pers di Nusantara. Jauh sebelum dunia mengenal blog. Ketika setiap orang bisa membuat medianya sendiri. Memberitahukan dirinya. Membuatnya dirinya unik, berbeda, di tengah arus masa globalisasi.
Uniknya di tengah dunia yang menggoblal, kita semakin individual, tetapi sekaligus universal. Tak ada batas ruang dan waktu di dalam blog, pada internet.
Beda dengan jaman itu, abad ke-18 sampai 19, mesin cetak jumlahnya terbatas. Hanya kalangan tertentu yang memilikinya. Para misionaris, pada mulanya yang memiliki mesin cetak. Selebaran yang dicetak itu untuk mendukung missionaris mereka.
Sekarang, mungkinkah di Indonesia kini jejak dalam dunia maya. Sesuatu yang ada meski kita tak bisa menyentuhnya. Akankah kita jadi legenda di tengah dunia yang serba maya? Sejarah belum berakhir.
Tapi Ahmad Adam menulis ketika Indonesia sudah ada. Disertasinya tentang sejarah pers ia selesaikan pada sekira 1983(?). Sebagaimana apa yang dilakukan para sejarawan lain. Sebuah kelemahan dalam metodologis sejarah yang tak mungkin bisa dihindari. Melihat masa lalu dari masa kini dengan bertumpuk-tumpuk ideologi, tatanan sosial, ekonomi, politik, dan budaya menjejali sejarawan.
Penelitian Ahmat Adam pun memberi keuntungan: ia tahu persis beda bahasa Melayu versi Malaysia dan versi Indonesia. Yang kelak tentu berguna bagi pembentukan bangsa. Barangkali, Ahmat Adam bisa mengetahui bangsanya, Malaysia, setelah membaca pers-pers yang pernah hidup di Hindia Belanda.
RESOURCE: http://bukukuno.blogspot.com/2007/05/jejak-yang-tercetak.html
Judul: Engineers of Happy Land
Pengarang: Rudolf Mrazek
Penerbit: Yayasan Obor, Jakarta
Cetakan: I Juni 2006
Tebal: 442 hlm.
Rudolf Mrazek. Siapapun dia dan di manapun dia, ia tetap guru saya. Saya tak pernah melihat mukanya. Yang saya lihat beberapa buku karangannya; Sjahrir Politik dan Pengasingan, Tan Malaka, dan Engineers of Happy Land (EHL). Tiga buku itu membuat saya terhenyak. Bukan semata data yang dipaparkan, tapi juga cara penyajian dan tafsirnya. Saya banyak belajar dari dia bagaimana menyajikan sejarah supaya enak dibaca dan penting.Bukan semata sejarah-sejarahan yang kaku sekaligus jujur dengan catatan kaki.
EHL membuat saya terhenyak. Mrazek bukan semata sedang menulis sejarah tapi memetaforakan data sejarah. Metafornya berlipat-lipat. Teknologi bukan semata teknologi. Teknologi adalah metafor dari nasionalisme jaman Kartini hingga jaman Pramoedya meninggal.
Dengan satu buku EHL ia berbicara banyak hal. Inilah yang menyebabkan metefornya berlipat-lipat. Ia memang sedang menulis sejarah teknologi di Hindia Belanda. Tapi ia juga sedang menilisik nasionalisme Indonesia. Ia juga sedang bekerja untuk Cornel University dengan data-data yang dia dapatkan. Ia sedang menunjukan hanya Cornell yang bisa menulis sejarah Indonesia dengan baik dan tak kaku.
Yang belum saya ketahui, dan ini sungguh pribadi; penuh prasangka; dan oksidentalis, ia sedang meruntuhkan mitos nasionalisme Indonesia. Tapi saya coba bunuh prasangka buruk itu. Saya percaya ia tak seburuk itu. Ia barangkali hanya kagum. Sebagaimana Ben Anderson yang mengagumi Indonesia.
Negeri dengan beragam etnis, bahasa, agama, golongan, kepentingan ini masih bisa bersatu selama seabad. Hanya di Indonesia nasionalisme macam itu terjadi. Yugoslavia hancur berkeping-keping lebih dulu. Rusia pecah. Amerika terus belajar, untuk melanggengkan nasionalisme mereka dengan laboratoriumnya: Indonesia.
Di situlah letak kecanggihan berpikir sejarawan dari Republik Ceko ini. EHL adalah teks yang bisa tafsirkan berlipat-lipat dengan metafora yang berlipat-lipat pula. Tapi ketika saya membaca cara berpikir Mrazek, ia tak ubahnya sebuah teks. Sebagaimana metafora dan alur berpikirnya yang terdapat dalam bab-bab yang dipaparkan, akan saya tafsirkan sendiri sebatas teks yang ada. Inilah kemenangan sekaligus kekalahan ketika saya menjadi pembaca teks. Saya diberi kebebasan menfasir tapi tafsiran saya dibatasi teks yang tersedia:
Nasionalisme Itu…
Ketika jalan-jalan mulai lempang, halus, dan tak becek nasionalisme mengalir cepat, mudah dalam darah pribumi. Jalan memudahkan Kartini, Marco dan pribumi udik lain untuk mengetahui daerah-daerah di luar “tempurung” mereka.
Memilih Kartini dan Marco sebagai contoh sama saja memetaforkan sebuah golongan intelektual Indonesia. Keduanya adalah pribumi dari kelas yang berbeda. Kartini mendapatkan pencerahan dari Barat. Nasionalisme-nya dikonstruk Barat. Kedekatannya dengan Barat membuatnya terobsesi. Bahkan bayangan moi indie-nya terbentuk dari pendidikan ala Barat. Termasuk bagaimana ia memaknai teknologi sebagai sesuatu yang mennggembirakan.
tak banyak mendapatkan sentuhan Barat. Sekolahnya cuma sampai Ongko Loro. Nasionalismenya lebih terbentuk dari pendidikan guru-gurunya: Tirto, Suwardi Suryaningrat, dan Wahidin. Dalam hal teknologi Marco tak cuma memanfaatkan tapi juga sebagai media perlawanan.
Tapi bagi keduanya, jalan dan alat transportasi (teknologi) menjadi medium yang memungkin orang untuk memiliki bayangan terhadap Indonesia. Inilah, bagi saya, letak perbedaan Ben Anderson dan Mrazek. Jika Ben, mengatakan nasionalisme awal terbentuk atas kapitalisme cetak, maka Mrazek paparkan jalan juga menjadi pembentuk nasionalisme.
Nasionalisme itu semakin mengalir, mengalir, dan terus mengalir ketika alat-alat transportasi merambah tanah Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Kereta api menjadi transportasi penting dalam membentuk Indonesia.
Kereta api yang cepat, yang melaju seperti monster menurut Kartini, yang memuat banyak orang lebih mungkin mengalirkan darah nasionalisme Indonesia dibanding mobil atau kereta kuda. Mobil terlalu elitis. Kereta kuda terlalu lambat. Keduanya memuat tak lebih dari 5 orang.
Dari kereta api kelas-kelas sosial, perlawanan, dan penjajahan dibaca. Beragam cerita ada didalamnya. Pribumi yang tak mampu bayar peron, pencopet, hingga para kolonial yang sombong. Marco disuruh pindah ke kelas tiga sebab, ada penumpang Belanda yang menginginkan tiketnya.
Bahasa adalah jalan. Sama saja bahasalah yang dapat melapangkan nasionalisme Indonesia. Bahasa Melayu melintasi batas-batas bahasa-bahasa daerah. Bahasa inilah yang lebih nasional, daripada bahasa Jawa, atau bahasa-bahasa lain.
Tafsir Mrazek hampir serupa dengan apa yang dikemukakan Ben. Baik kapitalisme cetak maupun jalan dan teknologi tansportasi lain (kereta api) semuanya adalah medium untuk melancarkan proses nasionalisme Indonesia. Di sinilah dialektis antara gagasan Ben dan Mrazek. Mrazek tak membantah, ia hanya melengkapi gagasan seniornya.
Meskipun kemudian Mrazek berkelit lincah bahwa ia terkendala bahasa. Seperti pejalan di jalanan yang becek di kala hujan, perjalanan Mrazek terkendala bahasa Inggris-nya yang buruk. Lagi-lagi di sini nampak kecanggihan gaya berpikirnya yang ikut merayakan post modernisme, merayakan hal-hal yang dianggap remeh temeh.
Tahap lanjut nasionalisme Indonesia ialah menjujung tinggi nasionalisme itu dalam benak. Nasionalisme tahap kedua dimetaforakan Mrazek dengan menara-menara yang menjulang. Menara-menara yang tinggi. Menara-menara yang bisa yang terasa sombong. Bangunan-bangunan berdinding kokoh dengan pondasi-pondasi kuat. Bangunan yang dibangun dengan biaya-biaya mahal.
Arsitektur Belanda yang menekankan pada bangunan-bangunan tinggi seolah menunjukan kesombongan. Angkuh, congak, jumawa, dan terkesan tak mau ditandingi. Sebab di awal abad ke-20 hanya Belanda yang mampu membuat bangunan yang tinggi. Menara-menara itu itu adalah tamzil atas kesombongannya.
Ciri khas arsitektur ala Belanda itu sama saja dengan arsitektur nasionalisme Indonesia. Keangkuhan kolonial itulah yang menyebabkan bangunan nasionalisme Indonesia menajadi kokoh. Amarah yang terpendam dalam benak pribumi yang dianggap rendah menjadi pondasi keras bagi nasionalisme Indonesia.
Ciri khas arsitek Belanda yang suka membangun gedung-gedung yang tinggi dan kokoh sama saja dengan arsitek nasionalisme Indonesia: Soekarno. Ia gemar membuat nasionalisme tampak kokoh dan tinggi. Sosok Soekarno merepresentasikan dua hal sekaligus: arsitek bangunan dan nasionilsme Indonesia.
Marzek barangkali memberi petunjuk, jangan sombong dan angkuh di negeri koloni: sebab kesombongan akan melahirkan perlawanan. Maka dari itu berramah tamahlah dengan pribumi. Dekati mereka, peluk mereka, timang-timang mereka. Entah petunjuk itu ditujukan kepada siapa. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai sosok bukan saja karya sejarah dari Cornell University.
Nasionalisme ialah pencerah sebagaimana listrik yang membuat bolam-bolam menyala dan menerangi kegelapan Hindia Belanda. Listrik menjadi teknologi baru di jaman yang baru. Listrik membuat pribumi terpukau, takjub, dengan teknologi yang tak pernah mereka kenal sebelumnya. Bola-bola gas yang menyala itu masuk dalam pandangan mereka.
Sedangkan foto sebagaimana diyakini adalah dokumentasi yang memampatkan waktu dan ruang. Selembar foto benar-benar memadatkan realitas. Foto menjadi realitas baru, realitas yang padat yang hanya mencuplik dari hamparan realitas sesungguhnya. Di awal abad ke-20 fotografi menjadi teknologi baru. Lagi-lagi Kartini, tokoh penting di jaman itu, begitu takjub dan terobsesi.
Di sisi lain teknologi optik juga berkembang. Kaca mata dengan bingkai dan lensanya membantu orang melihat dengan jelas. Ketika jaman baru mengenal kacamata sebagai fungsi primer, belum sebagai asesoris, alat itu memperjelas realitas. Membantu mengindera mata yang berpandangan kabur.
Nasionalisme sama saja dengan listrik, foto, dan alat optik. Ia meneguhkan jalan terang bagi keberagaman Indonesia hanya bisa dipersatukan dengan nasionalisme. Sebagai foto, sebenarnya, nasionalisme memampatkan waktu dan ruang. Hindia Belanda yang luas termampatkan dalam sebuah kata: Indonesia. Sebagai kaca mata, nasionalisme menjadi cara pandang.
Nasionalisme itu melekat dalam diri manusia Indonesia. Sehingga ia tampak eksotik. Ia membuat percaya diri melangkah dalam sejarah. Sebagaimana Soekarno, pesolek Indonesia, yang percaya diri dengan nasionalismenya. Pakaian adalah martabat, nasionalisme pun demikian. Tanpanya bangsa menjadi tak bermartabat.
Di atas adalah nasionalisme yang saya tafsirkan dari EHL. Di akhir tulisan ini, saya sangat berterima kasih kepada intenet, blog, handphone sebab dengan itu memudahkan jalan saya. Dengan teknologi saya semakin individual di tengah dunia yang semakin mengglobal. Saya seperti seorang tuli yang mencoba mencerna dengan baik apa yang dikatakan lawan bicara saya: Barat. Saya kira manusia jaman ini tak jauh beda dengan Kartini dan Marco: mengagumi dan memanfaatkan teknologi atau bahkan sebaliknya menjadikannya sebagai media perlawanan.
RESOURCE: http://bukukuno.blogspot.com/2007/04/mrazek-teknologi-dan-metafora.html
Di masa revolusi nasional, Tan Malaka adalah sosok yang disegani. Soekarno menganggapnya sebagai guru revolusi. Hatta menyebutnya sebagai sosok yang tak mudah membungkukkan tulang punggungnya. Sebagian orang malah menyebutnya sebagai filosof Indonesia yang paling awal. Tetapi mengapa ia tewas dibunuh oleh bangsanya sendiri? Siapa yang berada di balik pembunuhannya?
Tan Malaka Dibunuh! Sebuah kisah sejarah yang ironis. Ditulis dengan gaya sastra sejarah. Buku ini mengurai tentang sosok, kiprah pergerakan, serta kematian Tan Malaka yang tragis di pinggir sungai Brantas pada Februari 1949.
Buku ini merekam dengan detil krisis politik yang terjadi pada kurun waktu 1945-1949. Sebuah kurun waktu di mana sesama kelompok revolusioner di negeri ini terlibat konflik politik dan perebutan kekuasaan yang berakhir dengan kematian dan pembunuhan. Revolusi telah memakan anaknya sendiri.
Buku-buku tentang masa revolusi membanjir setelah Orde Baru tumbang. Termasuk tentang Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka (1897-1949). Sebagian pengarang buku tentang masa revolusi justru berasal dari kalangan yang generasi tuanya ikut mengganyang anggota PKI dan ormas pendukungnya.Generasi muda berontak terhadap pencucian otak yang dilakukan Orba terutama tentang partai komunis, termasuk sang penulis, Yunior Hafidh Hery ini.
Pertanyaan siapa yang membuang nafas Tan Malaka pada 19 Februari 1949 itu dibiarkan terjawab sendiri oleh pembaca di lembar akhir. Namun di ujung tulisannya, penulis mengajak keturunan Gubernur Mayor Jenderal Sungkono dan Kolonel Surachman untuk meresponi kronik tentang Tan Malaka.
Judul : Hostage
Pengarang : Robert Crais, 2001
Penerjemah : Maria Lubis
Penerbit : Rajut Publishing, 2007
Tebal : 533 halaman; 13 x 20 cm
Sebuah kasus penyanderaan yang berakhir tragis menimbulkan trauma yang sangat mempengaruhi kehidupan Jeff Talley. Trauma itu diam-diam disimpannya, tak ada yang pernah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Hanya saja, setelah kejadian itu, sikap Jeff Talley berubah. Ia pun akhirnya meninggalkan pekerjaannya sebagai negosiator SWAT dan malah bekerja di sebuah wilayah pemukiman yang tenang di California.
Hingga suatu hari, seorang penjahat kelas teri yang baru dibebaskan dari penjara melakukan sebuah kekacauan. Dennis Roney, bersama adiknya Kevin, serta seorang temannya yang dipanggil Mars, seorang lelaki pendiam. Dennis mengusulkan untuk merampok sebuah toko kecil, namun ternyata berakhir dengan tertembaknya si pemilik toko. Mereka pun melarikan diri. Dalam pelarian itu, mereka akhirnya tak sengaja masuk ke sebuah rumah dan menyandera pemilik rumah, Mr Smith dan kedua anaknya.
Jeff Talley yang bertugas di wilayah itu, kini harus kembali menghadapi situasi yang sudah lama ditinggalkannya. Kemampuannya sebagai negosiator ternyata sangat berguna dalam keadaan gawat tersebut. Namun ternyata, situasi tak sesederhana yang disangka. Orang yang disandera, Mr Smith, ternyata terlibat dalam bisnis mafia. Dia adalah akuntan yang bertugas untuk membuat pembukuan dan mengatur agar pencucian uang yang dilakukan sang mafia terlihat bersih.
Sang mafia pun mengikuti peristiwa penyanderaan itu, lalu melakukan berbagai usaha untuk menghalangi polisi agar nantinya tidak melakukan penggeledahan di rumah Smith, karena pasti akan ditemukan berbagai bukti yang akan menyulitkan mereka. Talley akhirnya bukan hanya harus membebaskan keluarga Smith, namun juga dia harus memikirkan keselamatan anak dan istrinya yang dijadikan sandera oleh sang mafia.
Cerita thriller ini memang sebuah cerita yang lancar. Dari awal, kita sudah diperkenalkan dengan para karakter utama. Kita akan diajak mengikuti situasi yang terjadi dari berbagai sudut pandang para tokoh yang terlibat. Di bagian akhir, kita juga akan disajikan beberapa kejutan yang membuat cerita bertambah seru.
Bagian yang paling menarik bagiku sih waktu secara tak terduga, ternyata salah satu sandera yang masih sangat muda itu menunjukkan keberanian yang luar biasa.
(Hanya saja, sebenarnya ini bukan jenis cerita yang aku sukai. Ceritanya memang lancar mengalir, gampang diikuti, tapi setelah di bagian akhir, aku gak mendapatkan kesan spesial. Yah, seperti sudah aku sebutkan di atas, yang paling aku suka itu sih di bagian si anak itu, karena tadinya dia digambarkan sebagai anak yang bengal, ternyata diam-diam dia sangat cerdas dan menyayangi kakaknya.)
Judul : Perang - Sebuah novel Sub Kultur
Penulis : Rama Wirawan
Penerbit : Jalasutra
Cetakan : I, 2005
Tebal : 176 hal
Novel ini bukan novel perang, tak ada rentetan peluru yang ditembakkan untuk membabat habis musuh, tak ada pekik kemenangan dari pihak yang menang. Yang ada adalah rentetan ide dan isu-isu sosial yang dimuntahkan dalam novel ini.
Perang adalah Perang Hayat, nama seorang pemuda 22 tahun yang bekerja sebagai seorang desain grafis di sebuah perusahaan printing. Bekerja dari jam 8 pagi hingga jam 5 sore adalah suatu rutinitas yang dijalaninya sejak tiga bulan yang lalu, namun Perang belum juga bisa menemukan keindahan dan kenyamanan dalam dunia kerjanya. Suasana kantor yang penuh tekanan dan ketidaknyamanan itu membuat dirinya seperti berada dalam penjara dan ia merasa ada sesuatu yang tercuri dari hidupnya.
Dalam novel ini tokoh Perang dideskripsikan sebagai seseorang yang hidup dalam kesendirian dengan buku-buku dan keremangan, ia selalu sinis melihat dunia terang benderang seperti mall-mall, gedung-gedung megah, restoran mewah, dll. Ia selalu melihat ketimpangan dari semua kemewahan itu, ia menyadari bahwa mall-mall itu dibangun di atas tanah bekas gusuran rumah penduduk, ketika ia melihat sebuah restoran mewah ia yakin bahwa hanya segelintir orang yang bisa menikmati makanan di restoran mewah tersebut. Karenanya kawan-kawannya tak melihat dan merasakan apa yang ada dalam benaknya, Perang merasa hidup dalam kesendirian dan keterasingan.
Setelah sekian lama terjebak dalam rutinitas kerja dan keterasingan, kehidupannya lambat laun mulai berubah ketika Perang berkenalan dengan Denny, seorang kurir dari kantor cabang tempat ia bekerja. Perkenalannya dengan Denny membawanya pada suatu komunitas subkultur yang akrab dengan zine, musik underground, gig, distro, D.I.Y, dll. Dan yang membuat Perang segera tertarik dengan komunitas ini adalah pemikiran kawan-kawan barunya yang terus berusaha mencari alternatif atas sistem yang telah mengurung dan terus menumpulkan hidup masyarakat. Perang diajaknya membahas isu budaya kontemporer seperti alienasi, neoliberalisme , resistensi, literasi dan banyak lagi isu-isu sosial lainnya. Melalui komunitas dan kawan-kawan barunya inilah Perang kini merasa tak terasing lagi, keingin tahuannya yang besar dan ketidakpuasannya akan ketimpangan sosial, sistem ekonomi, politik, budaya subkulur, dan lainnya mendapat pencerahan dari kawan-kawan barunya. Lambat laun ia menjadi seorang yang hidup dengan pandangan baru , segar, sadar atas pilihan dan resiko hidupnya.
Kehidupan Perang tambah semarak dengan pertemuannya dengan teman kuliahnya dulu – Mirah. Melalui Mirah, Perang mengenal cinta, bukan cinta romantis seperti dalam kisah-kisah novel romantis melainkan cinta yang dalam, cinta yang sanggup menguak tabir kehidupan dan mampu mengembalikan sisi kemanusiaaan yang telah tertampik oleh sibuknya dunia. Dan itulah yang terjadi dengan Perang, kisah cintanya dengan Mira tak membuat semangat dan pandangan baru yang ia peroleh dari kawan-kawan komunitasnya mengabur, kehidupan cintanya dengan Mira membuat ia memperoleh kekuatan baru karena ia dan Mira bersatu padu dengan cara mereka sendiri untuk mendobrak kemapanan sistem yang telah menumpulkan masyarakat disekelilingnya akan arti dari sebuah kehidupan
Novel ini sangat baik untuk diapresiasi oleh pembaca yang tak ingin hidupnya terjebak dalam kemapanan . Novel yang sarat dengan ide pemikiran-pemmikiran alternatif ini tersaji dengan baik, antara ide dan cara penyampaiannya tampil seimbang, walau novel ini sarat dengan dialog-dialog antar tokohnya mengenai isu-isu sosial yang menyangkut ekonomi dan budaya, dan tersaji nyaris tanpa klimaks yang berarti, novel ini tidaklah menjadi membosankan karena tersaji dengan kalimat-kalimat bertutur yang enak dibaca dan membuka wawasan baru bagi pembacanya. Seperti halnya tokoh Perang, melalui novel ini cara pandang pembaca pun akan terbuka dengan pandangan baru akan apa yang terjadi dalam berbagai kehidupan sosial yang berlaku pada saat ini.
Di tengah maraknya novel-novel lokal bertema kehidupan remaja/dewasa yang sarat dengan muatan kegalamouran dan keceriannya, hadirnya novel subkultur ini tentunya menawarkan alternatif bacaan baru yang sangat layak dibaca bila kita ingin lebih paham mengenai masalah-masalah sosial dan dunia subkultur dengan segala pernak-perniknya
@h_tanzil
Judul : Zahir
Penulis : Paulo Coelho
Penerjemah : Andang H. Sutopo
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, 2006
Tebal : 440 hlm ; 20 cm
Beban menjadi seorang pengarang yang pernah melahirkan karya monumental sangatlah berat. Setiap karya berikutnya selalu menarik perhatian publik dan selalu diperbandingkan dengan karya monumentalnya. Paulo Coelho rupanya harus menerima kenyataan ini, setelah Sang Alkemis menjadi buku best seller dunia, dan diterjemahkan dalam 56 bahasa, setiap Coelho menerbitkan karya terbarunya orang cenderung bertanya-tanya "Apakah karya ini sebaik sang Alkemis?". Hal inilah yang rupanya akan terus menjadi pertanyaan abadi bagi publik dan tentunya akan memacu Coelho untuk melahirkan karya-karya terbaiknya, sebab jika tidak, hal ini akan menjadi bumerang bagi karier kepenulisannya.
Zahir yang merupakan karya teranyar dari Paulo Coelho seolah hendak membuktikan kekonsistennya dalam melahirkan karya-karya sebaik Sang Alkemis. Novel Zahir yang pertama kali diterbitkan oleh Harper Colins pada Sepetember 2005 telah mengungguli daftar Best Seller di Amerika Serikat. Sayang pencapaian untuk menembus angka-angka penjualan yang fantastis tersandung ketika Zahir dilarang beredar di Iran oleh Kementrian Kebudayaan Iran (BBC, 13 Mei 2005) dengan dalih popularitas Coelho dianggap berbahaya bagi masyarakat Iran.
Dalam Zahir yang banyak disebut-sebut sebagai novel semi-otobiografi, Coelho menulis tentang kisah seorang penulis besar yang berasal dari sebuah negara di Amerika Latin yang karyanya menjadi best seller dunia. Dari seluruh kisah hidup si penulis yang terungkap di novel ini akan nampak bahwa ciri-ciri tokoh ini mirip sekali dengan Coelho, Meski demikian cerita ini bukanlah kisah hidup Coelho yang sesungguhnya. Rupanya dalam Zahir Coelho hanya memasukkan karakter dirinya dan aktifitas kesehariannya sebagai penulis dalam diri tokoh utamanya.
Dikisahkan seorang penulis terkenal mendapati istrinya, Esther seorang wartawan perang, tiba-tiba saja menghilang secara misterius. Tak ada yang salah dalam pernikahan mereka, kedua-duanya saling mencintai bahkan Esther pulalah yang memotivasi suaminya dalam berkarya hingga melahirkan karya best seller dunia " Ada Waktu Untuk Merobek, Ada Waktu Untuk Menjahit". Ketiadaan istrinya tersebut membuat Esther menjadi Zahir/obsesi bagi si penulis untuk menemukannya kembali.
Hanya sedikit petunjuk yang diperolehnya dalam mencari Esther, beberapa orang mengatakan Esther kerap bertemu dengan seorang pemuda berkulit gelap dengan wajah ras Mongolia. Mereka berdua terlihat terakhir kali di sebuah kafe di Paris. Akhirnya si penulis berhasil menemui pemuda tersebut, Mikhail namanya, seorang pemuda yang berasal dari Kazakhstan. Mikhail mengetahui dimana Esther berada, namun hingga suatu saat tertentu ia belum juga memberitahukan dimana Esther berada sebelum ia mendapat bisikan dari "Sang Bunda" tokoh spritual yang dipercayainya dan memberinya misi untuk mewujudkan kekuatan Cinta bagi pembaharuan dunia.
Si penulis akhirnya mengikuti kemana Mikhail pergi. Pencarian sang penulis atas isitrinyapun dimulai. Si penulis dibawanya kedalam suatu pertemuan-pertemuan spiritual yang dipercaya Mikhael dan kelompoknya dapat mewujudkan misi "Cinta" yang ternyata awalnya dimotori oleh Esther. Melalui serangkaian pertemuannya dengan Mikhail si penulis mulai menelusuri kembali jejak kebersamaannya dengan sang istri, hal-hal yang terjadi dengan perkawinan mereka, hingga perpisahan itu. Tidak itu saja, pencarian Zahir ini membawa dirinya keluar dari dunianya yang aman dengan berkelana dari Amerika Selatan, Spanyol, Perancis, menapak pada jalur sutra hingga Kroasia dimana terdapat kawasan padang rumput di Kazakhstan dan mengenal cara hidup kaum nomaden. Perjalanan inilah yang akhirnya akan membawa si penulis melakukan perjalanan melintasi seluruh masa lalunya, melihat kesalahan yang ada pada dirinya, mengenal wanita yang dikawininya dan juga memperoleh pemahaman baru tentang hakikat cinta dan kekuatan takdir, dan juga kepekaan dan arti dalam mengikuti suara hati yang oleh Mikhail dikatakan suara dari "Sang Bunda"
Sama seperti novel-novel Coelho lainnya, kali ini Coelho pun menuturkan suatu cerita dengan gayanya yang kuat dan menawan yang sarat dengan kedalaman makna. Makna Zahir yang diambil dari cerpen Jorge Luis Borges ini digambarkan oleh Coelho sebagai sesuatu yang sekali disentuh atau dilihat tak bisa terlupakan, dan sedikit demi sedikit akan memenuhi seluruh pikiran kita, sehingga kita terjerumus pada kegilaan (hlm. 75). Melalui definisi Zahir ini pembaca disadarkan bahwa setiap orang memiliki Zahir-nya masing-masing, dan bila kita bisa menapakinya dengan benar maka zahir ini akan menjadi inspirasi, kekuatan dan energi hidup yang melahirkan kreatifitas-kreatifitas baru.
Selain sarat dengan makna, novel ini juga menyuguhkan sisi yang menghibur. Tokoh utama novel ini yang seorang pengarang terkenal membuat novel ini mengungkap bagaimana sebenarnya keseharian seorang penulis terkenal baik dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan para wartawan yang selalu menayakan hal yang itu-itu saja, pengalamannya dalam menandatangani buku-bukunya, gencarnya para kiritikus dalam mencerca novel-novelnya, dll, sehingga melalui novel ini pembaca memperoleh gambaran seperti apa rasanya menjadi seorang penulis terkenal.
Untaian kalimat-kalimat dialog penuh makna dalam Zahir bagi orang yang bisa memahaminya menjadikan novel ini novel yang menginspirasi dan menggugah pembacanya, namun bagi yang tidak terbiasa membaca novel-novel jenis ini, Zahir dengan ketebalan 440 halaman ini bisa menjadi novel yang membosankan dan menimbulkan tanda tanya besar "Apa sih yang dimaksud dengan novel ini?" sehingga mungkin saja pembaca akan mencampakkan novel ini sebelum selesai menamatkannya. Namun andai saja kita terus membaca dan mencoba memaknai novel dengan sabar hingga lembar –lembar terakhir, maka kita akan menemukan semua jawaban dari kebingungan kita terhadap novel ini
@h_tanzil
Judul : Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tebal : 258 Halaman
Terbit : Juni, 2007
Siapa tidak mengenal Emha Ainun Nadjib. Lelaki ini terbilang produktif dalam menulis. Tulisannya ada yang berupa puisi, cerita pendek, kolom, hingga esai. Lewat tulisan-tulisan itu berbagai persoalan dibedahnya, mulai dari soal politik, sosial kemasyarakatan, sastra, kebudayaan, kebangsaan, sampai agama. Itu pula yang dilakukannya lewat buku berjudul Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki ini.
Di dalam kumpulan esai ini Emha mengungkapkan berbagai persoalan yang ada di dalam masyarakat. Ia yakin begitu banyak masalah dalam masyarakat yang nyata-nyata menuntut penyelesaian. Dalam pandangannya, jika persoalan itu tidak mendapatkan perhatian dari berbagai pihak, keterpurukan dan krisis bangsa Indonesia tidak akan pernah berakhir.
Persoalan-persoalan itu bagi Emha bukan sekadar sebuah gejala, tetapi telah menjadi potret buram yang terjadi dalam waktu lama. Buntutnya, diperlukan perubahan yang radikal agar bangsa Indonesia bisa lolos dari krisis. Di sinilah titik kritik Emha yang tertuang dalam tulisannya.
Dalam kumpulan esai ini, Emha tampak mencoba menyodorkan realitas ke depan pembacanya. Ia mencoba menghadirkan kenyataan tersebut langsung ke pusat kesadaran pembacanya. Tidak mengherankan jika pembaca sesekali akan berhenti membaca untuk memberikan ruang kontemplasi, dan merenungkan apa yang sedang dibacanya. Hal ini dilakukan misalnya dengan melontarkan pertanyaan-pertanyan retorik. Di sinilah salah satu kelebihan esai-esai yang ditulis oleh Emha.
Di samping itu, Emha kerap menggunakan idiom-idom yang diambil dari Al Quran sehingga nafas Islami dari sejumah esainya dapat dirasakan. Menariknya, meskipun begitu, esai-esai tersebut tetap kontekstual dengan keindonesiaan dan tidak menjadi tulisan-tulisan agama, walaupun nilai-nilai religius tetap mengalir di dalamnya. Inilah yang membuat tulisan-tulisan Emha tetap dapat “dinikmati” oleh berbagai kalangan, bahkan lintas pemeluk agama.
Ke akar masalah
Esai-esai Emha tidak bergegas memberikan sebuah solusi untuk problem-problem yang tengah dibahas. Tetapi justru ia mengajak pembaca untuk secara perlahan menyelami akar masalah dari persoalan yang ada. Di sini pembaca seakan diajak untuk melihat setiap permasalah secara komprehensif, mengakar, terbuka terhadap berbagai kemungkinan, bersikap tidak asal tuduh, dan selalu mempertimbangkan dimensi-dimensi yang mengitarinya (pluridimensional).
Hal di atas tampak misalnya ketika Emha berbicara soal terorisme yang memunculkan stereotip di kalangan atau kelompok masyarakat tertentu. Dalam tulisan ini diceritakan bagaimana Emha harus menjawab pertanyaan yang diajukan seputar terorisme dan pesantren. Menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan pesantren, dengan nada menyejukkan Emha mengungkapkan bahwa orang-orang dari pesantren adalah kaum yang termarjinalkan. Lulusan pesantren sebagian besar menjadi kaum yang terlempar dari arus jaman. Lalu, yang tidak diperhatikan oleh banyak kalangan, keterpinggiran tersebut disertai dendam di punggung mereka dan sewaktu-waktu bisa berubah menjadi ledakan api.
Harus diakui memang, tulisan-tulisan lelaki yang akrab dipanggil Cak Nun ini bukanlah tulisan yang dapat seketika dipahami. Namun diperlukan kearifan, kecermatan serta ketelitian dalam membacanya. Maklum saja, tulisan-tulisannya bukanlah berita sensasional tabloid hiburan yang dapat dinikmati secara instan.
Menyerahkan kepada pembaca
Emha sendiri di dalam esai-esainya tidak mencoba menggurui. Ia juga tidak tiba-tiba menjadi orang yang “maha tahu” dan mempunyai kapasitas untuk memberikan nilai pada sebuah keadaan, melainkan mencoba membahasakan realitas ke hadapan pembaca. Mengenai penilaian, hal itu lagi-lagi diserahkan kepada pembaca.
Di dalam esai-esainya, Emha sering mengajak pembaca melihat realitas dengan cara tidak langsung. Ia seringkali masuk ke dalam persoalan lewat peristiwa tertentu atau bahkan cerita tertentu. Dari situ spektrumnya meluas dan menyusup ke hal-hal yang mendasar dan substansial.
Ketika Emha memperbincangkan soal goyang Inul Daratista misalnya, ia tidak hanya berhenti pada kontroversi goyang yang sempat menghebohkan itu, tetapi juga ia ingin menunjukkan ketidakkonsistenan masyarakat dalam menghadapi sebuah gejala. Hal ini, menurut Emha, adalah disebabkan boleh latar belakang budaya dan infrastruktur alam pikiran masyrakat itu sendiri. Misalnya saja, melarang habis-habisan orang untuk korupsi, tetapi jika dirinya kecipratan hasilnya, korupsi seakan-akan menjadi legal (Hal. 16).
Sebagai murid
Hal yang sama juga tampak saat Emha berbicara soal bencana Tsunami yang terjadi di tahun 2004 di Aceh. Di sini ia tidak melulu berbicara mengenai gempa secara teknis, tetapi ia justru menelaah peristiwa tersebut dari sisi spritual yang reflektif dan kontemplatif.
Hal lain yang menarik dari kumpulan tulisan ini, Emha mengingatkan bahwa tulisannya selalu bertolak pada tanggung jawab sebagai anggota masyarakat dan bangsa, bukan pada “karir” kepenulisannya. Tidak mengherankan jika kemudian Emha acap kali memosisikan diri sebagai bagian dalam kehidupan masyarakat yang tengah dikritisinya. Malah ia menempatkan diri sebagai “murid” dari masyarakat atau umat. Keegaliteran inilah yang membuat Emha selalu dapat diterima di berbagai lapisan dan golongan masyarakat.
Dalam buku yang tidak diberi pengantar, baik dari editor, penerbit maupun penulisnya sendiri ini, esai-esai Emha dikelompokkan menjadi enam bagian besar yaitu Podium Husni yang banyak mengupas persoalan kebudayaan, Sekul dan Uler yang menyoal ideologi negara dan kepemimpinan, Santri Teror yang membahas masalah santri dan alam pikiran para santri, Generasi Kempong yang mengajak pembaca untuk melihat berbagai kekacauan sikap budaya dan kemunafikan, “Wong Cilik” dan Dendam Rindu Jakarta yang berbicara mengenai kaum marjinal, dan Gunung Jangan Pula Meletus yang mencoba memaknai bencana yang melanda Indonesia.
Sayangnya, tidak semua esai dalam buku ini menyebutkan sumber tulisannya. Akibatnya, pembaca tidak pernah tahu konteks sesungguhnya dari tulisan-tulisan tersebut. Akan lebih membantu sebenarnya jika pembaca tahu sumber tulisan tersebut, misalnya, apakah esai tersebut pernah dimuat di sebuah harian, apakah esai tersebut merupakan makalah dalam sebuah seminar, atau memang tulisan-tulisan yang belum sempat diterbitkan. Sumber karangan, waktu ketika esai itu dibuat, dan konteks persoalan ketika esai itu dibuat, tentunya akan membantu pembaca memahami gagasan-gagsan Emha dan maksud dari tulisan-tulisannya.***
(Dimuat di Koran SINDO, 8 Juli 2007)
Browser : http://ulas-buku.blogspot.com/
Penulis : Junaedi Setiyono
Penyunting : Imam Muhtarom
Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : I, Juli 2007
Tebal : 293 hal
Perang Jawa atau De Java Oorlog (Belanda) adalah perang besar dan menyeluruh yang berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, antara pasukan penjajah Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock melawan penduduk pribumi yang dipimpin seorang pangeran Yogyakarta bernama Pangeran Diponegoro atau yang dalam novel ini disebut-sebut sebagai Kangjeng Sultan Ngabdulkamid. Perang ini merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama menjajah Nusantara. Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah Jawa, maka disebutlah perang ini sebagai Perang Jawa
Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metoda perang gerilya (geurilia warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran.
Di pihak Belanda perang ini menghabiskan 20 juta gulden dan banyak memakan korban. Belanda kehilangan 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, sedangkan rakyat Jawa yang tewas sebanyak 200.000. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.
Novel Glonggong, adalah novel sejarah berlatar Perang Jawa. Namun bukan novel tentang Pangeran Diponegoro atau tokoh-tokoh perang jawa lainnya. Novel ini mengisahkan seorang pemuda yang namanya tidak akan pernah kita temui dalam buku-buku sejarah. Tokoh utama novel ini bernama Danukusuma yang lebih dikenal dengan nama Glonggong.
Nama Glonggong diperoleh Danukusuma karena kemahirannya bermain perang-perangan dengan menggunakan pedang glonggong. Glonggong adalah tangkai daun pepaya berwarna kuning pucat kehijauan. Oleh anak-anak Jawa pelepah pohon pepaya ini dijadikan pedang untuk bermain perang-perangan. Sedangkan nama Glonggong disandangnya setelah ia bermain perang-perangan dengan Suta, sahabatnya. Ketika ia jatuh terjerembab di tanah, seseorang menariknya dan ternyata dia adalah seorang putrra raja bernama Bendara Raden Mas Antawijaya yang kemudian dikenal dengan nama Kangjeng Pangeran Aria Dipanegara. Ketika itu Pangeran menyapanya dengan panggilan “Glonggong”. Dan sejak itu Danukusuma dipanggil Glonggong oleh teman-temannya dan nama itu terus melekat dengan dirinya hingga dewasa.
Dalam darah Glonggong mengalir darah biru. Namun hidupnya tak semulus teman-temannya yang berdarah biru lainnya. Ibunya seorang Raden Ayu dari daerah Tegalreja (tanah kelahiran Pangeran Diponegoro) yang menikah dengan Kiai Sena, seorang jagabaya (penjaga kemanan) dari wilayah Bagelen. Namun pernikahan ini tak berlangsung lama karena ayahnya hilang ketika terjadi peristiwa pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Rangga Prawidirja pada tahun 1810. Saat itu Glonggong masih dalam ayunan gendongan selendang ibunya. Ia tak sempat mengingat wajah ayah kandungnya yang tak pernah pulang.
Ibunya kemudian menikah lagi dengan Raden Suwanda. Glonggong tinggal bersama ibu dan ayah tirinya, sementara dua orang saudaranya tinggal bersama pamannya. Walau telah menikah, ibu glonggong masih terus memikirkan Kiai Sena sehingga kondisi psikisnya terganggu, ia hidup dalam dunianya sendiri, setiap hari dilaluinya mengeram dalam kamar sambil menembangkan tembang-tembang mapacat. Sedangkan Raden Suwanda, ayah tiri glonggong, sibuk dengan kepriyayiannya. Tak ada tegur sapa yang harmonis layaknya bapak dan anak. Ayah tirinya terlampau asing bagi glonggong.
Dalam keluarga yang seperti inilah Glonggong dibesarkan, sejatinya ia tumbuh dalam asuhan kedua orang pembantunya. Setiap hari dilaluinya dengan bermain glonggong bersama anak-anak desa di kampungnya. Ketika Raden Suwanda memperoleh pendamping baru, glonggong dan ibunya diusir dari rumahnya sendiri. Mereka terpaksa harus tinggal di sebuah gubuk di tengah hutan. Dengan setia glonggong merawat ibunya hingga sebuah tragedi merengut nyawa ibunya dan membuat Glonggong harus hidup terlunta-lunta sebatang kara.
Hidup sendirian membuat dirinya bertekad untuk berkelana untuk mencari ayah dan dua kakak kandungnya. Kemahirannya memainkan glonggong juga membuatnya bekerja sebagai pengawal para priyayi keraton. Pekerjaan ini membuatnya memahami bahwa para priyayi umumnya hidup dalam kemewahan harta, tahta, dan wanita yang memabukkan kehidupan mereka. Lalu ia juga bergabung dengan barisan prajurit Pengeran Dipanegoro yang saat itu sedang berjuang melawan Belanda. Saat itu keraton Ngayogyakarta terbelah menjadi dua, satu pihak mendukung perjuangan Diponegoro, di lain pihak bersekongkol dengan Belanda.
Dalam sebuah tugasnya mengawal peti harta karun laskar dipanegaran guna ditukarkan dengan senjata, Glonggong mendapat serangan dari para bagal. Ia terluka cukup parah. Setelah sembuh, ia diperhadapkan dengan munculnya orang yang menyamar menjadi dirinya dan membunuhi penduduk desa. Selain itu ia juga bertekad untuk menemukan kembali harta karun yang direbut oleh para bagal sebagai tanggung jawabnya pada Sang Pangeran.
Novel Glonggong karya Junaedi Setiono, yang sehari-harinya mengajar sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Purworejo ini merupakan novel pertamanya dan langsung didapuk sebagai pemenang ke-empat (harapan I) sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2006. Sebelumnya cerpen dan puisinya pernah memenangi sayembara penulisan cerpen dan puisi. Cerpen dan Puisi-puisinya telah dimuat di media masa lokal (Porworejo), juga dapat ditemui dalam beberapa antologi puisi yang terbit sejak tahun 1988, yang terakhir , kumpulan puisi dan cerpennya dibukukan alam antologi Kemuning (2005)
Walau novel ini berlatar belakang Perang Jawa ini kita tidak akan disuguhkan oleh serunya peperangan antara Laskar Dipanegaran dengan Belanda atau kisah-kisah heroik Sang Pangeran dan laskar-laskarnya dalam membela haknya. Sang Pangeran dalam novel ini hanya muncul sekilas saja, selebihnya novel ini lebih mendeskripsikan kisah kehidupan Glonggong dan tokoh-tokoh lain yang merupakan lapisan pertama dan kedua dari hirarki pasukan Diponegoro. Selain itu novel ini juga mengupas intrik politik dan perilaku kaum bangsawan keraton dalam melawan belanda.
Tak ada deskripsi mendetail baik mengenai peristiwa sejarah, setting lokasi dan waktunya. Melalui kisah hidup glonggong, penulis lebih memilih untuk mengungkap bagaimana kebobrokan kehidupan para priyayi keraton yang memilih hidup nyaman dan mencari aman dengan berpihak pada Belanda. Bahkan yang lebih ironis bagaimana akhirnya pasukan Dipanegaran sendiri yang akhirnya frustasi karena kekalahan-kekalahan yang dideritanya sehingga akhirnya membelot dan mencari jalan sendiri-sendiri.
Karakter glonggong dieksplorasi secara baik oleh penulis sebagai pribadi yang pantang menyerah terhadap kepahitan hidupnya yang tercerabut dari keluarganya, berperang melawan ayah tiri dan saudara kandungnya sendiri, dikhianati oleh guru dan sahabatnya, hingga menyaksikan dengan mata dan kepalanya sendiri bagaimana akhirnya Sang Pangeran yang dijunjungnya tertangkap oleh Belanda. Namun hal ini tidak membuat dirinya undur dari perjuangannya dan tetap melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya terhadap tugas yang diembannya.
Novel setebal 293 halaman ini memiliki plot yang cepat dengan kalimat-kalimat yang enak dibaca. Untuk lebih menghidupkan novel ini, penulis menggunakan beberapa istilah dalam bahasa jawa. Untuk itu, buku ini menyediakan daftar glosari di halaman akhir yang memuat 74 istilah jawa. Sangat membantu, walau sedikit mengganggu kenikmatan membaca karena harus membolak-balik daftar glosari ketika menemukan istilah yang tidak dimengerti. Mungkin lebih baik diberi catatan kaki saja sehingga pembaca tak perlu terhenti lebih lama untuk membolak-balik buku ini.
Di awal kisah, penulis menyajikan novel ini seolah-olah Glonggong sedang menulis kisahnya kepada Hendrik, sahabat belandanya. Sayangnya tokoh Hendrik dan kisah persahabatannya dengan Glonggong sendiri kurang terekplorasi sehingga saya tak melihat urgensinya mengapa Glonggong sampai perlu menulis kisahnya ini untuk Hendrik.
Ada satu kejanggalan di halaman 111, disebutkan “Uang hasil menang judi sebanyak sepuluh ribu rupiah perak dapat selamat sampai ke purinya” (hal 111). Yang jadi pertanyaan, apakah pada masa itu istilah rupiah sudah mulai digunakan?
Namun terlepas dari kelemahan dan kejanggalan di atas, novel ini tetap menarik untuk disimak Awalnya saya menyangka novel ini seperti layaknya novel-novel pendekar dimana tokohnya menderita, terkucilkan, dan akhirnya menjadi seorang yang besar dan disegani. Rupanya penulis tak terjebak dalam alur seperti itu. Di sini penulis mengelaborasi jalan hidup tokohnya secara lain , glonggong tetaplah glonggong, yang namanya tidak dikenal dan bukan siapa-siapa hingga kisahnya berakhir.
Yang patut diteladani adalah sikap hidupnya yang tetap konsisten membela kebenaran di tengah kehidupan pribadinya yang pahit dan kekecewaannya terhadap teman-temannya dan gurunya yang pada akhirnya memilih hidup nyaman dengan meninggalkan perjuangan melawan ketidakadilan.
Dan seperti diungkap oleh Ahmad Tohari dalam endorsmen buku ini, novel ini mengungkap genetika kebobrokan politikus sekarang yang bisa dilacak dengan jelas dalam novel ini. Jika kita cermati, intrik politik yang terjadi lebih dari seratus lima puluh tahun yang lampau masih terjadi hingga kini. Tidak percaya ? Silahkan baca novel ini.
@h_tanzil
Resource : http://bukuygkubaca.blogspot.com/
Judul: Ripin; Cerpen Kompas Pilihan 2005-2006
Penyunting: Ninuk Mardiana Pambudy
Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Cetakan: I, Juni 2007
Ukuran: 14 x 21 cm, xxviii + 180 halaman
Dibeli: Gramedia Padang, 11 Juli 2007
MENGUBAH tradisi. Itulah yang dilakukan redaksi Kompas dalam menerbitkan buku kumpulan Cerpen yang telah menjadi “trade mark” mereka. Bila tradisi tahun-tahun sebelumnya, diterbitkan Cerpen pilihan Kompas, maka tahun ini tradisi itu didobrak menjadi Cerpen Kompas pilihan.
Cerpen pilihan Kompas dan Cerpen Kompas pilihan, jelas “makhluk kata” yang berbeda. Selain berbeda susunan peletakan kata, makna yang dikandung tentu juga berbeda. Bila biasanya Cerpen-cerpen yang dimuat di buku kumpulan Cerpen yang secara rutin diterbitkan Kompas adalah pilihan orang-orang redaksi mereka sendiri, maka untuk tahun ini tugas memilih itu diserahkan pada pihak luar jajaran redaksi. Tahun ini mereka mempercayakan kepada Prof Dr Bambang Sugiharto, seorang guru besar filsafat Universitas Parahyangan dan Institut Teknologi Bandung, serta Nirwan Dewanto, pengasuh jurnal budaya Kalam yang juga pengasuh rubrik sastra di Koran Tempo.
Di tangan mereka dari pergulatan selera keduanya “dieksekusi” 102 Cerpen yang dimuat di Harian Kompas terbitan Minggu sepanjang tahun 2005-2006. Hasilnya, terpilihlah 16 Cerpen yang menurut mereka terbaik dari yang baik. Subjektifkah atau objektifkah pemilihan itu? Jelas mereka akan memberikan jawaban, bahwa ini murni penilaian yang mengedepankan upaya untuk menggugurkan nafsu literer tak perlu dari mereka sendiri, sebagaimana pembelaan Nirwan Dewanto dalam prolognya.
Terlepas dari bagaimana proses pemilihan ala mereka, yang jelas penulis Cerpen yang beruntung tahun ini hanya 12 Cerpenis dari 16 Cerpen yang terpilih. Mengapa begitu? Karena ada beberapa Cerpenis yang Cerpennya terpilih 2 karya sekaligus. Mereka adalah Gus tf Sakai, Puthut EA, Triyanto Triwikromo dan Agus Noor. Selebihnya hanya satu karya yaitu Seno Gumira Ajidarma, Djenar Maesa Ayu, Dewi Ria utari, Adek Alwi, Danarto, Eka Kurniawan, Kurnia Effendi dan Ugoran Prasad. Dan dari sebanyak itu, Bambang dan Nirwan menganggap unggul Cerpen “Ripin” karya Ugoran Prasad, “Rumah Hujan” punya Dewi Ria Utari dan “Nistagmus milik Danarto.
“Pada ketiganya kami temukan bahwa “pendek” dalam cerita pendek benar-benar bermakna, yaitu ketika sudut penceritaan bergabung tepat dengan tema dan alur. Atau ketika waktu penceritaan tergarap benar untuk mendukung penokohan,” kata Nirwan. (hal.xvii)
Dan mereka pun memilih “Ripin” sebagai cerita terbaik, dikarenakan Cerpen ini dianggap tampak lebih wajar ketimbang “Rumah Hujan” dan “Nistagmus”.
“Kependekannya tampak cemerlang: dengan hanya melukiskan satu hari kehidupan si tokoh utama, ia telah mengatakan segala-galanya. Sementara “Rumah Hujan” menyuling waktu cerita yang begitu panjang dengan tak terlalu mulus, dan “Nistagmus” mengulur panjang-panjang kilas ke masa lampau untuk mendamparkan klimaks pada hari ini.” (hal.xxv)
Cerpen “Ripin” yang dimuat di Kompas edisi 24 April 2005 ini, bercerita soal keinginan Ripin untuk bisa menonton pasar malam yang digelar di kampungnya. Dia berhasrat benar untuk bisa menonton bersama emaknya –yang menggilai Rhoma Irama. Dan kebetulan di pasar malam itu akan tampil seorang pria yang mirip Bang Roma yang mengaku bernama Ruslan Irama. Keinginannya itu meskipun diiyakan sang emak, mendapat sandungan dari bapaknya yang beringas. Hingga akhirnya hanya Ripin yang bisa pergi ke sana tanpa emaknya yang bertengkar dengan bapak, dan kemudian diketahuinya mati karena kepalanya dihantamkan ke dinding.
Beragam tema yang diangkat dalam buku Kumcer ini. Sebagai karya yang dimuat di edisi 2005-2006, sebagian ada yang sama mengangkat kisah pilu soal tragedi tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam. Tapi tentu saja dengan gaya dan plot cerita yang berbeda. Seperti “Nistagmus”, “Laut Lepas Kita Pergi” (Kurnia Effendi), dan “Ibu Pergi ke Laut” (Puthut EA). Selebihnya mengangkat temanya masing-masing, baik bergaya realisme maupun surealis.
Sebagai Cerpen pilihan dua panelis tamu Kompas itu, pembaca buku ini tentu bisa membaca bagaimana sebenarnya “selera” si pemilih. Dan wajar juga bila pembaca memilih sendiri cerita yang dianggapnya terbaik dari 16 Cerpen yang ditampilkan itu. Saya sendiri, setelah membaca seluruhnya, justru memilih karya Puthut EA “Ibu Pergi ke Laut”.
Di samping ceritanya yang sederhana dan menggugah hati, alasan nyelenehnya adalah, karena judul yang dipakai Puthut EA benar-benar bisa ditarik ulur ke sana-kemari. Baca lamat-lamat; ibu pergi ke laut mengingatkan kata-kata dalam buku bahasa anak SD. Dalam konteks kekinian, pergi ke laut dijadikan bahasa prokem ke laut ajee…
Di awal-awal membaca judul, pembaca langsung mencoba menebak, ngapain ibu ke laut? Bukankah biasanya bapak yang ke laut? Tapi setelah membaca tuntas, dugaan itu mentah di tangan Puthut. Ibu pergi ke laut, menjadi kata penghibur bagi si anak yang ditinggal ibunya yang menjadi korban tsunami Aceh. Bahasa yang dipakai begitu mudah dimengerti dan menggunakan sudut pandang seorang anak dalam menjalani hari-harinya tanpa si ibu.
Tapi bagaimana pun, keseluruhan Cerpen di buku ini memang bagus-bagus. Dan para penulisnya memang sebagian besar adalah orang-orang yang telah punya nama di negeri ini. Tapi soal selera, tetap bisa beda bukan? (max)
Resource :http://maxbooks.wordpress.com/2007/08/24/buku-empat-puluh-sembilan/#more-111
Judul: Semua Berawal dengan Keteladanan, Catatan Kritis Rosihan Anwar
Penulis: Rosihan Anwar
Tebal: xx + 515 halaman
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Terbit: Mei 2007
Setiap penulis kolom memiliki gaya penulisan yang khas. Ada penulis yang menyajikan tulisan secara “berat”, sebut saja seperti Goenawan Mohammad, ada yang bergaya ceplas-ceplos seperti Harry Roesli, ada juga yang bergaya segar dan jenaka seperti Mahbub Djunaidi.
Setiap gaya tulisan boleh-boleh saja beda. Namun jika diamati, ada kesamaan di antara penulis-penulis tersebut. Kesamaan itu adalah, semua penulis tersebut sangat kaya dengan pengalaman, memiliki pengetahuan yang luas, serta kejelian dalam menangkap persoalan yang ada di sekitarnya.
Begitu pula dengan Rosihan Anwar. Ia adalah seorang penulis yang memiliki ciri-ciri seperti di atas. Rosihan Anwar adalah penulis yang kaya dengan berbagai pengetahuan, mulai dari pengetahuan sejarah, sastra, kebudayaan, filsafat, hingga politik. Seperti diungkapkan oleh Julius Pour dalam pengantar buku ini, semua pengetahuan itu membuat Rosihan Anwar dapat berpikir secara runtut dan memakai bahasa yang jernih.
Ditambah lagi, profesinya sebagai wartawan memungkinkannya mempunyai banyak kesempatan untuk bertemu dan berinteraksi dengan orang dari berbagai kalangan, mulai dari rakyat kecil, pejabat, tokoh-tokoh berpengaruh, sampai pesohor. Di sisi lain ia juga berkesempatan menjadi saksi langsung berbagai peristiwa penting.
Hal-hal itulah yang membuat tulisan-tulisan Rosihan Anwar menjadi lebih kaya, penuh warna, dan tampak penguasannya terhadap kompleksitas persoalan dan kemajemukan setiap permasalahan. Tidak heran jika pembaca merasa betah berlama-lama membaca tulisannya. Padahal bukan tidak mungkin persoalan yang disampaikan dalam tulisannya adalah masalah yang cukup serius. Begitu pula tulisan-tulisannya dalam buku Semua Berawal dengan Keteladanan.
Semua Berawal dengan Keteladanan adalah kumpulan kolom Rosihan Anwar yang muncul di tabloid Cek & Ricek. Nama kolom tersebut adalah Halo Selebritis. Seperti lazimnya tabloid hiburan, Cek & Ricek pun berisi berbagai berita seputar selebritis dan dunia hiburan. Namun begitu, tabloid ini masih menyisakan ruang untuk diisi oleh tulisan-tulisan yang memberikan pengayaan kepada pembacanya, itulah kolom Rosihan Anwar. Tidak mengherankan jika kolom ini adalah salah satu tulisan yang selalu ditunggu pembacanya setiap minggu.
Membaca buku ini yang diterbitkan untuk memperingati 85 tahun Rosihan Anwar dan 60 tahun usia perkawinannya dengan Siti Zuraida Sanawi ini, kita dapat melihat bagaimana wartawan tiga jaman itu memandang berbagai persoalan yang ada di masyarakat, mulai dari persoalan kebudayaan, sosial, pers, politik sampai ekonomi. Cara pandang Rosihan Anwar itu sangat beragam, ia dapat saja mengacungkan jempol, geleng-geleng kepala, mengritik pedas, bersikap sinis atau pun mengejek. Kesemuanya disampaikan secara terbuka atau blak-blakan.
Ketika Polri berhasil menangkap Imam Samudra dan Amrozi tersangka peristiwa pemboman di Bali misalnya, Rosihan Anwar secara terbuka memuji prestasi tersebut. Namun, ketika ia menilai para selebriti, entah pelawak ataupun penyanyi rock, yang tiba-tiba di bulan Ramadhan sering muncul membawakan acara agama di malam atau subuh hari, ia seperti menyimpan tanda tanya. Bahkan Rosihan Anwar mempertanyakan, apakah kalau sudah menjadi terkenal seseorang bisa begitu saja dipakai dalam acara dakwah? (hal. 209).
Menariknya, Rosihan pun tidak pernah pandang bulu dalam melancarkan kritik. Pejabat, birokrat atau pun artis, bisa saja dikritiknya terang-terang. Bahkan presiden pun tidak lepas dari sasaran kritiknya, misalnya saja secara terang-terangan ia mengatakan bahwa dalam hal KKN, Gus Dur sudah sami mawon dengan mantan Presiden Soeharto (hal. 35). Begitu pula ketika ia berkali-kali mengritik Presiden Megawati.
Kolom-kolom Rosihan Anwar pun menjadi lebih menarik untuk dibaca karena banyak sekali “sejarah kecil” yang disisipkan dalam kolom-kolom ini. Meskipun dikatakan “sejarah kecil” namun hal tersebut justru memperkaya tulisan sejarah yang ada. Misalnya dalam tulisan yang berjudul Dewi Rais Punya Cerita, Pertanyaan Bisa Bikin Ibu Mega Sebel, Rosihan menulis bagaimana Presiden Soekarno marah kepada Dewi Rais, istri Letjen (Purn.) Rais Rabin. Ketika itu Dewi Rais dan pengurus PWI yang diketuai Mahbub Djunaidi (almarhum) berkunjung ke Istana Bogor. Sesampainya di sana Presiden Soekarno menyalami semua tamu yang datang. Namun yang menggelikan ia ngambek dan tidak mau bersalaman dengan Dewi Rais.
Tidak hanya itu, Presiden Soekarno komplain kepada Kolonel Hidayat (kala itu masih berpangkat kolonel), ayah Dewi Rais, yang menjabat Panglima Tinggi TNI di Sumatera pada masa clash ke dua dan PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia). Kala itu, seperti dikutip Rosihan Anwar, Presiden Soekarno berkata “ Zeg, suruh jouw dochter itu jangan tulis yang bodoh-bodoh.”
Kemarahan Soekarno ternyata dipicu oleh tulisan Dewi Rais dalam surat kabar Api Pancasila yang mengritik ucapan Presiden Soekarno seputar Gestapu. Waktu itu Soekarno mengatakan bahwa peristiwa Gestapu merupakan druppeltje in de ocean (sebuah riak kecil dalam lautan samudera).
“Sejarah kecil” seperti itulah yang sebenarnya dapat membuat sejarah lebih hidup dan tidak kering, sehingga lebih menarik minat orang untuk membaca. Oleh karena itulah Rosihan juga pernah menerbitkan buku Sejarah Kecil (Petite Histoire) Indonesia (2004).
Pendek kata kolom-kolom Rosihan Anwar tidak hanya sebuah komentar kritis terhadap persoalan yang terjadi setiap waktu, tetapi juga sebuah catatan kritis yang diracik sedemikian rupa sehingga “sedap” untuk dinikmati.***