Ketika Kompas Mengubah Tradisi
Judul: Ripin; Cerpen Kompas Pilihan 2005-2006
Penyunting: Ninuk Mardiana Pambudy
Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Cetakan: I, Juni 2007
Ukuran: 14 x 21 cm, xxviii + 180 halaman
Dibeli: Gramedia Padang, 11 Juli 2007
MENGUBAH tradisi. Itulah yang dilakukan redaksi Kompas dalam menerbitkan buku kumpulan Cerpen yang telah menjadi “trade mark” mereka. Bila tradisi tahun-tahun sebelumnya, diterbitkan Cerpen pilihan Kompas, maka tahun ini tradisi itu didobrak menjadi Cerpen Kompas pilihan.
Cerpen pilihan Kompas dan Cerpen Kompas pilihan, jelas “makhluk kata” yang berbeda. Selain berbeda susunan peletakan kata, makna yang dikandung tentu juga berbeda. Bila biasanya Cerpen-cerpen yang dimuat di buku kumpulan Cerpen yang secara rutin diterbitkan Kompas adalah pilihan orang-orang redaksi mereka sendiri, maka untuk tahun ini tugas memilih itu diserahkan pada pihak luar jajaran redaksi. Tahun ini mereka mempercayakan kepada Prof Dr Bambang Sugiharto, seorang guru besar filsafat Universitas Parahyangan dan Institut Teknologi Bandung, serta Nirwan Dewanto, pengasuh jurnal budaya Kalam yang juga pengasuh rubrik sastra di Koran Tempo.
Di tangan mereka dari pergulatan selera keduanya “dieksekusi” 102 Cerpen yang dimuat di Harian Kompas terbitan Minggu sepanjang tahun 2005-2006. Hasilnya, terpilihlah 16 Cerpen yang menurut mereka terbaik dari yang baik. Subjektifkah atau objektifkah pemilihan itu? Jelas mereka akan memberikan jawaban, bahwa ini murni penilaian yang mengedepankan upaya untuk menggugurkan nafsu literer tak perlu dari mereka sendiri, sebagaimana pembelaan Nirwan Dewanto dalam prolognya.
Terlepas dari bagaimana proses pemilihan ala mereka, yang jelas penulis Cerpen yang beruntung tahun ini hanya 12 Cerpenis dari 16 Cerpen yang terpilih. Mengapa begitu? Karena ada beberapa Cerpenis yang Cerpennya terpilih 2 karya sekaligus. Mereka adalah Gus tf Sakai, Puthut EA, Triyanto Triwikromo dan Agus Noor. Selebihnya hanya satu karya yaitu Seno Gumira Ajidarma, Djenar Maesa Ayu, Dewi Ria utari, Adek Alwi, Danarto, Eka Kurniawan, Kurnia Effendi dan Ugoran Prasad. Dan dari sebanyak itu, Bambang dan Nirwan menganggap unggul Cerpen “Ripin” karya Ugoran Prasad, “Rumah Hujan” punya Dewi Ria Utari dan “Nistagmus milik Danarto.
“Pada ketiganya kami temukan bahwa “pendek” dalam cerita pendek benar-benar bermakna, yaitu ketika sudut penceritaan bergabung tepat dengan tema dan alur. Atau ketika waktu penceritaan tergarap benar untuk mendukung penokohan,” kata Nirwan. (hal.xvii)
Dan mereka pun memilih “Ripin” sebagai cerita terbaik, dikarenakan Cerpen ini dianggap tampak lebih wajar ketimbang “Rumah Hujan” dan “Nistagmus”.
“Kependekannya tampak cemerlang: dengan hanya melukiskan satu hari kehidupan si tokoh utama, ia telah mengatakan segala-galanya. Sementara “Rumah Hujan” menyuling waktu cerita yang begitu panjang dengan tak terlalu mulus, dan “Nistagmus” mengulur panjang-panjang kilas ke masa lampau untuk mendamparkan klimaks pada hari ini.” (hal.xxv)
Cerpen “Ripin” yang dimuat di Kompas edisi 24 April 2005 ini, bercerita soal keinginan Ripin untuk bisa menonton pasar malam yang digelar di kampungnya. Dia berhasrat benar untuk bisa menonton bersama emaknya –yang menggilai Rhoma Irama. Dan kebetulan di pasar malam itu akan tampil seorang pria yang mirip Bang Roma yang mengaku bernama Ruslan Irama. Keinginannya itu meskipun diiyakan sang emak, mendapat sandungan dari bapaknya yang beringas. Hingga akhirnya hanya Ripin yang bisa pergi ke sana tanpa emaknya yang bertengkar dengan bapak, dan kemudian diketahuinya mati karena kepalanya dihantamkan ke dinding.
Beragam tema yang diangkat dalam buku Kumcer ini. Sebagai karya yang dimuat di edisi 2005-2006, sebagian ada yang sama mengangkat kisah pilu soal tragedi tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam. Tapi tentu saja dengan gaya dan plot cerita yang berbeda. Seperti “Nistagmus”, “Laut Lepas Kita Pergi” (Kurnia Effendi), dan “Ibu Pergi ke Laut” (Puthut EA). Selebihnya mengangkat temanya masing-masing, baik bergaya realisme maupun surealis.
Sebagai Cerpen pilihan dua panelis tamu Kompas itu, pembaca buku ini tentu bisa membaca bagaimana sebenarnya “selera” si pemilih. Dan wajar juga bila pembaca memilih sendiri cerita yang dianggapnya terbaik dari 16 Cerpen yang ditampilkan itu. Saya sendiri, setelah membaca seluruhnya, justru memilih karya Puthut EA “Ibu Pergi ke Laut”.
Di samping ceritanya yang sederhana dan menggugah hati, alasan nyelenehnya adalah, karena judul yang dipakai Puthut EA benar-benar bisa ditarik ulur ke sana-kemari. Baca lamat-lamat; ibu pergi ke laut mengingatkan kata-kata dalam buku bahasa anak SD. Dalam konteks kekinian, pergi ke laut dijadikan bahasa prokem ke laut ajee…
Di awal-awal membaca judul, pembaca langsung mencoba menebak, ngapain ibu ke laut? Bukankah biasanya bapak yang ke laut? Tapi setelah membaca tuntas, dugaan itu mentah di tangan Puthut. Ibu pergi ke laut, menjadi kata penghibur bagi si anak yang ditinggal ibunya yang menjadi korban tsunami Aceh. Bahasa yang dipakai begitu mudah dimengerti dan menggunakan sudut pandang seorang anak dalam menjalani hari-harinya tanpa si ibu.
Tapi bagaimana pun, keseluruhan Cerpen di buku ini memang bagus-bagus. Dan para penulisnya memang sebagian besar adalah orang-orang yang telah punya nama di negeri ini. Tapi soal selera, tetap bisa beda bukan? (max)
Resource :http://maxbooks.wordpress.com/2007/08/24/buku-empat-puluh-sembilan/#more-111
Judul: Ripin; Cerpen Kompas Pilihan 2005-2006
Penyunting: Ninuk Mardiana Pambudy
Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Cetakan: I, Juni 2007
Ukuran: 14 x 21 cm, xxviii + 180 halaman
Dibeli: Gramedia Padang, 11 Juli 2007
MENGUBAH tradisi. Itulah yang dilakukan redaksi Kompas dalam menerbitkan buku kumpulan Cerpen yang telah menjadi “trade mark” mereka. Bila tradisi tahun-tahun sebelumnya, diterbitkan Cerpen pilihan Kompas, maka tahun ini tradisi itu didobrak menjadi Cerpen Kompas pilihan.
Cerpen pilihan Kompas dan Cerpen Kompas pilihan, jelas “makhluk kata” yang berbeda. Selain berbeda susunan peletakan kata, makna yang dikandung tentu juga berbeda. Bila biasanya Cerpen-cerpen yang dimuat di buku kumpulan Cerpen yang secara rutin diterbitkan Kompas adalah pilihan orang-orang redaksi mereka sendiri, maka untuk tahun ini tugas memilih itu diserahkan pada pihak luar jajaran redaksi. Tahun ini mereka mempercayakan kepada Prof Dr Bambang Sugiharto, seorang guru besar filsafat Universitas Parahyangan dan Institut Teknologi Bandung, serta Nirwan Dewanto, pengasuh jurnal budaya Kalam yang juga pengasuh rubrik sastra di Koran Tempo.
Di tangan mereka dari pergulatan selera keduanya “dieksekusi” 102 Cerpen yang dimuat di Harian Kompas terbitan Minggu sepanjang tahun 2005-2006. Hasilnya, terpilihlah 16 Cerpen yang menurut mereka terbaik dari yang baik. Subjektifkah atau objektifkah pemilihan itu? Jelas mereka akan memberikan jawaban, bahwa ini murni penilaian yang mengedepankan upaya untuk menggugurkan nafsu literer tak perlu dari mereka sendiri, sebagaimana pembelaan Nirwan Dewanto dalam prolognya.
Terlepas dari bagaimana proses pemilihan ala mereka, yang jelas penulis Cerpen yang beruntung tahun ini hanya 12 Cerpenis dari 16 Cerpen yang terpilih. Mengapa begitu? Karena ada beberapa Cerpenis yang Cerpennya terpilih 2 karya sekaligus. Mereka adalah Gus tf Sakai, Puthut EA, Triyanto Triwikromo dan Agus Noor. Selebihnya hanya satu karya yaitu Seno Gumira Ajidarma, Djenar Maesa Ayu, Dewi Ria utari, Adek Alwi, Danarto, Eka Kurniawan, Kurnia Effendi dan Ugoran Prasad. Dan dari sebanyak itu, Bambang dan Nirwan menganggap unggul Cerpen “Ripin” karya Ugoran Prasad, “Rumah Hujan” punya Dewi Ria Utari dan “Nistagmus milik Danarto.
“Pada ketiganya kami temukan bahwa “pendek” dalam cerita pendek benar-benar bermakna, yaitu ketika sudut penceritaan bergabung tepat dengan tema dan alur. Atau ketika waktu penceritaan tergarap benar untuk mendukung penokohan,” kata Nirwan. (hal.xvii)
Dan mereka pun memilih “Ripin” sebagai cerita terbaik, dikarenakan Cerpen ini dianggap tampak lebih wajar ketimbang “Rumah Hujan” dan “Nistagmus”.
“Kependekannya tampak cemerlang: dengan hanya melukiskan satu hari kehidupan si tokoh utama, ia telah mengatakan segala-galanya. Sementara “Rumah Hujan” menyuling waktu cerita yang begitu panjang dengan tak terlalu mulus, dan “Nistagmus” mengulur panjang-panjang kilas ke masa lampau untuk mendamparkan klimaks pada hari ini.” (hal.xxv)
Cerpen “Ripin” yang dimuat di Kompas edisi 24 April 2005 ini, bercerita soal keinginan Ripin untuk bisa menonton pasar malam yang digelar di kampungnya. Dia berhasrat benar untuk bisa menonton bersama emaknya –yang menggilai Rhoma Irama. Dan kebetulan di pasar malam itu akan tampil seorang pria yang mirip Bang Roma yang mengaku bernama Ruslan Irama. Keinginannya itu meskipun diiyakan sang emak, mendapat sandungan dari bapaknya yang beringas. Hingga akhirnya hanya Ripin yang bisa pergi ke sana tanpa emaknya yang bertengkar dengan bapak, dan kemudian diketahuinya mati karena kepalanya dihantamkan ke dinding.
Beragam tema yang diangkat dalam buku Kumcer ini. Sebagai karya yang dimuat di edisi 2005-2006, sebagian ada yang sama mengangkat kisah pilu soal tragedi tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam. Tapi tentu saja dengan gaya dan plot cerita yang berbeda. Seperti “Nistagmus”, “Laut Lepas Kita Pergi” (Kurnia Effendi), dan “Ibu Pergi ke Laut” (Puthut EA). Selebihnya mengangkat temanya masing-masing, baik bergaya realisme maupun surealis.
Sebagai Cerpen pilihan dua panelis tamu Kompas itu, pembaca buku ini tentu bisa membaca bagaimana sebenarnya “selera” si pemilih. Dan wajar juga bila pembaca memilih sendiri cerita yang dianggapnya terbaik dari 16 Cerpen yang ditampilkan itu. Saya sendiri, setelah membaca seluruhnya, justru memilih karya Puthut EA “Ibu Pergi ke Laut”.
Di samping ceritanya yang sederhana dan menggugah hati, alasan nyelenehnya adalah, karena judul yang dipakai Puthut EA benar-benar bisa ditarik ulur ke sana-kemari. Baca lamat-lamat; ibu pergi ke laut mengingatkan kata-kata dalam buku bahasa anak SD. Dalam konteks kekinian, pergi ke laut dijadikan bahasa prokem ke laut ajee…
Di awal-awal membaca judul, pembaca langsung mencoba menebak, ngapain ibu ke laut? Bukankah biasanya bapak yang ke laut? Tapi setelah membaca tuntas, dugaan itu mentah di tangan Puthut. Ibu pergi ke laut, menjadi kata penghibur bagi si anak yang ditinggal ibunya yang menjadi korban tsunami Aceh. Bahasa yang dipakai begitu mudah dimengerti dan menggunakan sudut pandang seorang anak dalam menjalani hari-harinya tanpa si ibu.
Tapi bagaimana pun, keseluruhan Cerpen di buku ini memang bagus-bagus. Dan para penulisnya memang sebagian besar adalah orang-orang yang telah punya nama di negeri ini. Tapi soal selera, tetap bisa beda bukan? (max)
Resource :http://maxbooks.wordpress.com/2007/08/24/buku-empat-puluh-sembilan/#more-111
0 Response to "Cerpen 1"